Bakteri Listeria monocytogenes pada Keju Gouda Produksi Lokal dan Impor

 

PENDAHULUAN

Latar belakang

Listeria monocytogenes merupakan bakteri Gram positif, berbentuk batang, merupakan patogen intraseluler, serta bersifat fakultatif anaerob sampai mikroaerofilik (Vazquez-Boland et al., 2001; Sukhadeo dan Trinad, 2009). Bakteri L . monocytogenes termasuk dalam foodborne pathogen yang dapat menyebabkan listeriosis terutama pada kelompok yang berisiko tinggi seperti bayi, orang lanjut usia (lansia), wanita hamil, dan penderita immuno-compromised. Infeksi yang disebabkan oleh L. monocytogenes terutama dapat menyebabkan septikemia dan maningitis dengan tingkat mortalitas yang tinggi (highly mortality rate) (Kathariou, 2002; McLauchlin et al., 2004; Lomonaco et al., 2009). Beberapa penelitian menyatakan bahwa sebagian besar infeksi L. monocytogenes bersumber dari makanan yang terkontaminasi.

Keju terutama keju lunak, sering dikaitkan dengan sejumlah wabah listeriosis di beberapa negara. Wabah listeriosis yang disebabkan karena mengonsumsi keju telah dilaporkan di Jepang pada tahun 2001. Sebanyak 86 orang telah terinfeksi L. monocytogenes dan 38 orang di antaranya menunjukkan gejala gastroen-teritis atau gejala seperti flu (flue like syndrome) setelah mengonsumsi keju (Makino et al., 2005). Sebanyak 119 kasus listeriosis juga terjadi di Chili pada tahun 2008 setelah mengonsumsi keju Brie dan Camembert (Gilmour et al., 2010), sedangkan di Indonesia belum tersedia data maupun laporan yang mencatat kejadian listeriosis. Hal ini cukup menyulitkan dalam menentukan prevalensi listeriosis di Indonesia.

Infeksi L. monocytogenes melalui makanan pada manusia terutama berkaitan dengan makanan siap saji (ready to eat) salah satunya yaitu keju (Lunde´n et al., 2004; Reij dan Den Aantrekker, 2004; Lomonaco et al., 2009). Keju Gouda merupakan salah satu jenis keju yang dikenal di Indonesia. Keju Gouda merupakan keju semi keras yang berasal dari Belanda. Pemenuhan kebutuhan keju Gouda di Indonesia tidak hanya melalui impor tetapi sudah dapat diproduksi di dalam negeri sejak tahun 1999.

Bakteri L. monocytogenes dapat ditemukan pada keju Gouda karena dipengaruhi berbagai faktor di antaranya proses pasteurisasi susu yang tidak sempurna, perlakuan atau kontaminasi setelah pasteurisasi, prosedur sanitasi yang tidak benar, pengembangan resistensi bahan kimia yang secara rutin digunakan untuk sanitasi, serta kemampuan bakteri ini membentuk biofilm juga mengakibatkan resisten terhadap desinfektan. Selain itu, beberapa sifat dari L. monocytogenes seperti tahan terhadap pH rendah (sampai pH 4,4), tahan terhadap konsentrasi garam yang tinggi, dan kemampuan untuk tumbuh pada suhu dingin memungkinkan bakteri ini dapat bertahan hidup selama proses pembuatan keju dan pada proses pemeraman keju (Bottarelli et al., 1999; Lomonaco et al., 2009). Laporan dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC) (2010), menyatakan bahwa L. monocytogenes telah dideteksi pada keju Gouda. Pengujian terhadap keju Gouda telah dilakukan oleh Department of Food and Agriculture California terkait dengan terjadinya wabah penyakit di beberapa negara bagian Amerika Serikat akibat dari mengonsumsi keju. Berdasarkan hal tersebut, maka diperlukan pengujian terhadap keberadaan L. monocytogenes pada keju Gouda produksi lokal dan impor yang beredar di Indonesia.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keberadaan L. monocytogenes pada keju Gouda produksi lokal dan impor serta bagaimana tingkat keamanan keju Gouda tersebut terhadap cemaran L. monocytogenes. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran keamanan keju Gouda produksi lokal dan impor terhadap keberadaan L. monocytogenes. Selain itu, diharapkan dapat sebagai bahan pertimbangan terhadap kebijakan teknis kegiatan importasi untuk mencegah peluang masuk L. monocytogenes melalui media pembawa keju. 

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan di Labora-torium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Depertemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, FKH IPB, pada bulan Februari sampai dengan April 2013. Penelitian ini menggunakan sampel keju Gouda produksi lokal dan impor yang dijual di pasar swalayan di daerah Jakarta dan Bogor dengan total sampel sebanyak 30 sampel, yang terdiri atas 15 sampel keju Gouda produksi lokal dan 15 sampel keju Gouda impor. Sampel keju Gouda lokal diproduksi di Sukabumi dan sampel keju Gouda impor merupakan keju yang diimpor dari Belanda. Sampel keju Gouda yang diambil memperhatikan kode produksi yang berbeda pada setiap sampel dan tanggal kadaluarsa, pengambilan sampel dilakukan secara aseptis. Kemudian dimasukkan ke dalam kantong plastik steril yang telah diberi label kode sampel dan disimpan dalam kondisi dingin untuk ditransportasikan.

Pengujian untuk mengidentifikasi keberadaan L. monocytogenes mengacu pada Bacteriological Analytical Manual (BAM), Food and Drug Administration (FDA) (2011), dan Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology (1994). Tahap awal dilakukan preparasi sampel dan pengayaan (enrichment) menggunakan sampel keju Gouda sebanyak 25 g dan ditambahkan 225 mL Listeria Enrichment Broth (LEB), kemudian dihomogenisasi dengan menggunakan stomacher selama tiga menit dan diinkubasi pada suhu 30°C selama 24 jam, 48 jam, dan tujuh hari. Selanjutnya dilakukan isolasi pada media agar selektif (Oxford agar) secara duplo, diinkubasi selama 24-48 jam ± 2 jam pada suhu 37°C secara aerobik dan anaerobik. Penelitian ini menggunakan kontrol positif (L. monocytogenes isolat lapang) dengan menginokulasikan koloni L. monocytogenes sebanyak dua öse ke dalam 225 mL LEB, kemudian diinkubasi bersamaan dengan sampel yang akan diuji. Pertumbuhan koloni kumanyang mencirikan L. monocytogenes pada media Oxford agar berupa koloni kecil berdiameter 1 berwarna hitam dengan pusat yang cekung dan halo berwarna hitam. Tahap identifikasi diawali dengan menumbuhkan koloni yang mencirikan L. monocytogenes pada media trypticasesoy agar dengan yeast extract (TSAye), kemudian diinkubasi pada temperatur 37°C selama 24-48 jam. Selanjutnya dilakukan uji biokimia yang terdiri dari uji kalium hidroksida (KOH) 3%, uji katalase, uji gula-gula, mikroskopis (pewarnaan Gram), uji motilitas serta uji konfirmasi aktivitas hemolitik dengan uji Christie Atkins Munch-Petersen (CAMP). Sebelum dilakukan uji gula-gula, koloni yang diduga L. monocytogenes dibiakan terlebih dahulu pada tryptone soya broth dengan yeast extract (TSBye). Interpretasi hasil uji L. monocytogenes disajikan pada Tabel 1. Penelitian ini menggunakan analisis data secara deskriptif.

Pembahasan

ditandai dengan tidak ditemukan pertumbuhan koloni yang mencirikan L. monocytogenes pada media agar selektif (Oxford agar). Hal ini berbeda dengan laporan dari CDC (2010) yang menyatakan bahwa L.monocytogenes dideteksi pada keju Gouda. Pengujian terhadap keju Gouda dilakukan oleh Department of Food and Agriculture California terkait dengan terjadinya wabah penyakit di beberapa negara bagian Amerika Serikat akibat dari mengonsumsi keju. Keju Gouda yang diuji merupakan keju yang terbuat dari susu yang tidak dipasteurisasi. Selain L. monocytogenes, Escherichia coli O157:H7 juga dideteksi pada keju Gouda yang mengakibatkan 38 orang terinfeksi dan 15 orang dirawat di rumah sakit, sedangkan kasus penyakit akibat dari infeksi L. monocytogenes tidak dilaporkan. Nwachukwu et al., (2009) juga telah mendeteksi keberadaan L. monocytogenes pada keju Gouda yang diproduksi di Nigeria.

Penelitian yang dilakukan oleh Wemmenhove et al., (2013) dengan mengi-nokulasikan tiga strain L. monocytogenes (Scott A, 2F, 6E) pada susu yang telah dipasteurisasi sebagai bahan baku untuk pembuatan keju Gouda. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa tidak ada pertumbuhan ketiga strain L. monocytogenes pada keju Gouda selama delapan minggu pemeraman dan terjadi penurunan pertumbuhan pada ketiga strain L. monocytogenes secara signifikan setelah 8-52 minggu pemeraman sebesar 1 - 7 log.

Tidak ditemukannya L. monocytogenes pada sampel keju Gouda produksi lokal dan impor yang diuji disebabkan karena kombinasi dari faktor-faktor preservatif (penghambat) pada keju Gouda seperti proses pasteurisasi susu sebagai bahan baku pembuatan keju Gouda, penurunan pH akibat dari penambahan kultur starter bakteri asam laktat (BAL), dan terjadinya penurunan aktivitas air selama proses pemeraman keju Gouda. Kombinasi dari faktor-faktor presevatif ini dapat menghambat pertumbuhan L. monocytogenes bahkan dapat menginaktifkan L. monocytogenes. Menu-rut Ryser dan Marth (2007), inaktivasi L. monocytogenes dapat terjadi akibat dari kombinasi efek antilisteria yang ada pada keju seperti pH rendah, aktivitas air yang rendah, serta suhu pada pemrosesan. Kombinasi dari faktor-faktor preservatif tersebut selama proses pembuatan keju dikenal dengan multiple hurdle technology. Menurut Leistner (2000), multiple hurdle technology merupakan konsep preservasi pada bahan makanan dengan menerapkan kombinasi faktor-faktor preservatif seperti suhu, aktivitas air, pH, potensial redoks, dan bahan preservasi. Penerapan multiple hurdle technology pada bahan makanan dapat mengeliminasi, menginaktifkan atau setidaknya dapat menghambat pertumbuhan mikrob yang tidak diinginkan karena tidak dapat mengatasi hambatan tersebut.

Sampel keju Gouda produksi lokal dan impor yang diuji terbuat dari susu yang dipasteurisasi terlebih dahulu sehingga mampu mengeliminasi L. monocytogenes. Selain itu, tidak terjadinya kontaminasi bakteri ini setelah proses pasteurisasi susu maupun selama proses pengolahan susu hingga menjadi keju. Suhu pasteurisasi susu yang digunakan pada keju Gouda produksi lokal yaitu 65°C selama 30 menit, suhu ini mampu menginaktifkan L. monocytogenes, sedangkan untuk keju Gouda impor tidak diketahui berapa suhu pasteurisasi susu yang digunakan. Menurut Ryser dan Marth (2007), L. monocytogenes sensitif terhadap suhu pasteurisasi (71,7°C selama 15 detik atau 62,8°C selama 30 menit). Suhu tinggi dapat menyebabkan kerusakan sel yang irreversible dari Listeria spp yang dapat mengakibatkan kematian sel.

Berdasarkan hasil dari beberapa penelitian, pada keju yang dibuat dari susu tanpa pasteurisasi lebih sering ditemukan keberadaan L. monocytogenes dibandingkan dengan keju yang dibuat dari susu yang dipasteurisasi (Kasalica et al., 2011). Sebanyak 333 sampel dari keju lunak (soft cheese) dan keju semi lunak (semi-soft cheese) yang dikumpulkan dari toko eceran di Swedia, L. monocytogenes diisolasi sebanyak 6% dari sampel keju lunak dan keju semi lunak yang dibuat dari susu tanpa pasteurisasi, serta hanya 2% L. monocytogenes diisolasi dari keju lunak dan keju semi lunak yang dibuat dari susu yang dipasteurisasi (Loncarevic et al., 1995). Tingginya kejadian L. monocytogenes pada susu segar menyebabkan keju yang terbuat dari susu yang tidak dipasteurisasi dapat menjadi faktor risiko terhadap kontaminasi L. monocytogenes pada keju (Meyer-Broseta et al., 2003).

Tidak adanya pertumbuhan atau menurunnya pertumbuhan L. monocytogenes pada keju Gouda dapat disebabkan karena kandungan asam laktat dan terjadinya penurunan aktivitas air selama proses pemeraman keju Gouda. Asam laktat merupakan asam organik yang dominan terdapat pada keju Gouda (13,9 g/kg). Setelah terbentuk, konsentrasi asam laktat tidak berubah secara signifikan selama proses pemeraman keju Gouda. Asam laktat yang terkandung pada keju Gouda dalam bentuk tidak terdisosiasi (tidak terurai) dapat menghambat pertumbuhan L. monocytogenes. Bakteri asam laktat yang ditambahkan pada proses pembuatan keju Gouda akan memfermentasi laktosa pada susu menjadi asam laktat sehingga dapat menurunkan pH. Kondisi ini yang mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan L. monocytogenes. Keju Gouda yang diperam selama lebih dari dua minggu memiliki pH berkisar antara 5,3-5,5 dan setelah enam bulan pemeraman, pH keju Gouda tidak mengalami peningkatan secara signifikan. Kisaran pH keju Gouda tersebut masih lebih rendah dari kisaran pH pertumbuhan dari L. monocytogenes (Wemmenhove et al., 2013). Bakteri L. monocytogenes dapat tumbuh pada kisaran pH 5,6-9,6 (Doyle et al., 2001) serta tidak adanya pertumbuhan dan penurunan kelangsungan hidup sel L. monocytogenes (viabilitas) dapat diamati pada pH 5,5, ketika kondisi lingkungan lainnya (suhu) tidak optimal untuk kelangsungan hidup L. monocytogenes (Ryser dan Marth, 2007).

Menurut Wemmenhove et al., (2013), aktivitas air pada keju Gouda akan semakin menurun dengan semakin lama waktu pemeraman. Aktivitas air setelah delapan minggu pemeraman pada keju Gouda yaitu 0,98, setelah tujuh bulan pemeraman menurun menjadi 0,92 dan satu tahun pemeraman aktivitas air menjadi 0,84. Aktivitas air yang rendah setelah tujuh bulan dan satu tahun pemeraman dapat menghambat pertumbuhan L. monocytogenes. Menurut Doyle et al., (2001), L. monocytogenes tumbuh optimum pada aktivitas air 0,97 dan sebagian besar strain L. monocytogenes tumbuh pada aktivitas air minimum 0,93. Menurut Ryser dan Marth (2007), aktivitas air yang rendah (osmolaritas tinggi) dapat mengakibatkan tekanan osmotik pada sel bakteri meningkat karena tersedot ke luar air yang ada di dalam sel sehingga mengakibatkan sel kekurangan air dan dapat mengakibatkan penghambatan pertumbuhan bahkan dapat mengakibatkan kematian, Faktor lain yang dapat memengaruhi ketiadaan L. monocytogenes pada sampel keju Gouda yang diuji yaitu jumlah L. monocytogenes pada sampel masih di bawah limit deteksi dari metode konvensional yang digunakan pada penelitian ini. Menurut Ryser dan Marth (2007), limit deteksi dari metode konvensional yang mengacu pada FDA yaitu 1 cfu/25 g, tidak ditemukannya L. monocytogenes pada semua sampel keju Gouda produksi lokal maupun impor, menunjukkan bahwa sampel keju Gouda tersebut relatif aman dari cemaran monocytogenes. Menurut SNI 7388:2009 tentang batas maksimum cemaran mikroba dalam pangan, menyatakan bahwa batas maksimum cemaran L. monocytogenes pada keju yaitu 0 cfu/25 g. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa batas maksimum cemaran L. monocytogenes pada sampel keju Gouda yang diuji telah memenuhi standar yang ditetapkan oleh SNI 7388:2009.

Menurut Swaminathan dan Gerner-Smidt (2007), keju (terutama keju lunak) dikaitkan dengan sejumlah wabah listeriosis di beberapa negara dan dianggap produk yang berisiko. Berdasarkan penilaian risiko L. monocytogenes pada keju di Amerika Serikat, keju dikate-gorikan sebagai makanan yang berisiko rendah. Hal ini berdasarkan pada temuan jumlah kasus listeriosis berada di bawah satu kasus per tahun, Risiko tertinggi terjadi penularan L. monocytogenes adalah ketika terjadi pertumbuhan bakteri ini dalam bahan makanan, pada saat sebelum dikonsumsi oleh populasi yang rentan (Tompkin, 2002). Dosis infektif L. monocytogenes adalah 100-1.000 sel terutama bagi kelompok yang rentan (Ryser dan Marth, 2007). Keju Gouda yang tercemar L. monocytogenes dapat menjadi ancaman bagi kesehatan masyarakat. Terdapat dua bentuk gejala klinis yang diakibatkan oleh infeksi L. monocytogenes yaitu listerial gastroenteritis (listeriosis bentuk saluran pencernaan) dan invasive listeriosis (listeriosis bentuk invasif). Gejala klinis yang ditimbulkan oleh listeriosis bentuk saluran pencernaan di antaranya mual, muntah, kram perut, dan diare. Listeriosis bentuk invasif diakui sebagai foodborne disease yang serius karena tingkat keparahan gejala dan tingkat kematian yang tinggi yaitu 20-30% (Garrido et al., 2008). Gejala klinis yang ditimbulkan oleh listeriosis bentuk invasif yaitu meningitis, meningoensefalitis, dan septikemia, serta pada wanita hamil dapat mengakibatkan kluron/abortus, kematian pada bayi yang baru lahir atau persalinan prematur (Delgado, 2008; Disson et al., 2008).

Praktik higiene dan sanitasi dalam industri pembuatan keju Gouda hendaknya harus tetap dipertahankan. Hal ini disebabkan karena keberadaan L. monocytogenes yang tersebar luas di alam dan lingkungan membuat kontaminasi keju Gouda oleh L. monocytogenes sulit untuk dihindarkan (Wagner et al., 2005; Sauders et al., 2006) serta kemampuan L. monocytogenes untuk membentuk biofilm pada permukaan peralatan pengolahan dan di lingkungan pengolahan mengakibatkan bakteri ini lebih resisten terhadap desinfektan (Donlan dan Costerton, 2000; Moltz dan Martin, 2005).

 DAFTAR PUSTAKA

Bergey D.1994. Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology. Baltimore

(US): Waverly Press.

Bottarelli A, Bonardi S, Bentley S. 1999. Presence of Listeria spp in short-ripened

cheeses. Ann Fac Vet Med 19 : 293-296.

[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2009. Standar Nasional Indonesia (SNI)

7388:2009 tentang Batas Maksimum Cemaran Mikroba dalam Pangan. Jakarta (ID): BSN.

[CDC] Centers for Disease Control and Prevention. 2010. Investigation update:

multistate outbreak of E.coli O157:H7 infections associated with cheese. http:// www.cdc.gov/ecoli/2010/cheese0157/ index.html. [10 Februari 2013].

Delgado AR. 2008. Listeriosis in Pregnancy. J Mid Women’s Health 53 : 255-

            259.

Disson O, Grayo S, Huillet E, Nikitas G, Langa-Vives F, Dussurget O, Ragon M,

Le Monnier A, Babinet C, Cossart P. 2008. Conjugated action of two species-specific invasion proteins for fetoplacental listeriosis. Nature 455 : 1114-1118.

Donlan RM, Costerton JW. 2002. Biofilm: survival mechanisms of clinically

 relevant microorganisms. Clin Microbiol Rev 15 : 167-193.

Doyle MP, Beuchat LR, Montville TJ. 2001. Food Microbiology: Fundamental

 and Frontiers. 2nd ed. Woshington DC (US): ASM Press.

[FDA] Food and Drug Administration. 2011. Bacteriological Analytical Manual:

Detection and Enumeration of Listeria monocytogenes. http://www.fda.gov/Food/ FoodScienceResearch/LaboratoryMethods/ ucm071400.htm. [14 Januari 2013].

Garrido V, Torroba L, Garcia-Jalon I, Vitas AI. 2008. Surveillance of listeriosis in

Navarre, Spain, 1995-2005-epidemiological patterns and characterisation of clinical and food isolates. Euro Surveillance 13 : 19058.

Gilmour MW, Graham M, Van Domselaar G, Tyler S, Kent H, Trout-Yakel KM, 

Larios O, Allen V, Lee B, Nadon C. 2010. High-throughput genome sequencing of two Listeria monocytogenes clinical isolates during a large

foodborne outbreak. BMC Genomics 11: 120.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEKNIK BIOKIMIA

LAPORAN PRAKTIKUM GENETIKA TERNAK “CHI – SQUARE”